Upload, Download Mp3, Music, Video Gratis, Disini Deh Tempatnya ..

Minggu, 05 Desember 2010

Warung Tegal Saja Kok Mesti Kena Pajak? Apa Kata Dunia?

Jakarta, kota yang menjadi harapan bagi banyak masyarakat Indonesia. Orang-orang rela berbondong-bondong pergi ke sana dengan penuh harapan, meskipun tidak memiliki bekal, modal atau pun kemampuan. Yah, itulah yang membuat Jakarta menjadi salah satu kota terpadat di dunia. Nampaknya sudah tak ada tempat lagi untuk menyepi supaya tidak bertemu dengan satu pun manusia disana. Tak terkecuali orang-orang dari Tegal ini yang bercita-cita untuk membangun bisnis warung makan Tegal-nya yang lebih kita kenal dengan sebutan “Warteg”.

Banyak diantara pengusaha warteg ini yang berhasil dalam membangun usahanya, dan tentu tidak sedikit pula yang gagal dalam usahanya. Namun dibalik itu semua, sesuatu yang patut kita hargai dari pengusaha warteg ini adalah kerelaan mereka untuk melayani apa yang dibutuhkan masyarakat, yaitu kebutuhan utama untuk makan, yang tentu diperlukan oleh setiap manusia. Sejenak kita dapat membayangkan bagaimana kegiatan kesehariannya, bangun pagi-pagi, memasak, mempersiapkan bahan-bahan dan menyajikan berbagai lauk pauk untuk dijual di siang harinya. Untuk apa mereka berkorban seperti itu? Tentu untuk memenuhi kebutuhan makan masyarakat. Mungkin bisa jadi anda salah satunya.

Mengapa saya menyebut itu suatu pengorbanan? Terlebih dahulu, cobalah kita bayangkan seakan diri kita adalah pengusaha warteg. Bayangkanlah, sesuatu saat, hujan turun dikala sore hari. Sesaat orang-orang malas menghampiri tempat kita sehingga sore itu menyisakan berbagai lauk-pauk yang tidak sempat laku terjual. Apakah lauk-pauk itu bisa dijual untuk hari esok’? Mungkin ada sebagian, namun itu hanya terjadi pada satu dua pengusaha warteg yang tidak memiliki respek sosial, dan itu pun hanya dalam beberapa jenis lauk-pauk, kebanyakannya tentu tidak mungkin dapat dijual kembali di keesokan hari. Harus di terima, hari itu adalah hari yang membuat usaha kita merugi besar.

Pernahkah kita menghitung-hitung margin keuntungan dalam setiap lauk-pauk yang dijual? Kita ambil saja telur. Jika warteg ini menjual seharga Rp.1500-Rp.2000, jika harga satu buah telur Rp1000, berapa sih keuntungannya? Anda yang tak mau merugi bilang “Lima ratus sampai seribu.” Tapi tentunya tidak semudah itu, masih banyak biaya lain seperti bumbu, bahan lain seperti bawang, minyak goreng, gas dan yang paling utama adalah waktu untuk membuatnya. Pada zaman serba sibuk seperti sekarang, efisiensi menjadi lebih penting karena masyarakat sudah mulai kehilangan waktu untuk sekedar memasak untuk makan sehari-harinya. Skala ekonominya adalah menjadi lebih baik membeli di tempat yang namanya warteg ini, karena harganya masih murah dan terjangkau oleh masyarakat.

Melihat banyaknya pengusaha warteg yang tetap untung dengan margin keuntungan yang kecil karena jumlah pembelinya banyak, kemudian tercetus ide untuk menarik pajak dari usaha ini. Alasannya karena banyaknya pengusaha warteg yang berhasil dan memiliki rumah-rumah dan tanah yang besar di kampung halamannya meskipun memang tidak semuanya begitu. Kemudian ide penetapan pajak itu seakan bakal diamini oleh pemerintah, khususnya pemerintah di DKI Jakarta dengan rencana dikenai pajak sebesar 10%. Padahal pajak sendiri tentunya memiliki aturan minimal yaitu untuk orang yang berpenghasilan senilai tertentu yang dapat dikenai pajak. Akan tetapi dilematis rasanya dalam hal usaha warteg ini bila tebang pilih, karena tentunya warteg yang tidak terkena pajak akan meiliki daya saing yang tinggi dengan menjual dagangannya lebih murah.


Masalahnya kemudian, konsumen dari warung tegal adalah masyarakat menengah kebawah. Jika, pengusaha warteg dikenai pajak senilai 10%, tentu untuk menutupi biaya pajak itu adalah dengan menaikan harga jual nasi dan lauk-pauk yang dijualnya. Jadi beban pajak itu ujung-ujungnya akan dibebankan pada konsumen juga. Naiknya harga nasi dan lauk pauk di warteg, tentunya akan memberatkan masyarakat menengah ke bawah. Karena warteg adalah tempat bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan utamanya. Jika kelas restourant atau rumah makan, mungkin ia dikenai pajak, karena yang menjadi konsumennya adalah masyarakat menengah ke atas. Nah, jika warteg? Anda bisa menjawabnya sendiri.

Sepertinya hidup di Jakarta sudah akan mulai membuat otak kita menjadi gila. Apa pun seakan telah berorientasi pada uang sampai-sampai di zaman sekarang mau buang air kecil saja mesti bayar. Mungkin ada benarnya juga sentilan beberapa masyarakat yang bilang tak ada lagi yang gratis di Jakarta. Jika saja usaha yang penuh kerja keras dan tidak elegant layaknya orang kantoran seperti warteg saja dikenai pajak, mau pindah ke usaha apalagi? Jika begini jadinya, maka kemudian akan hilang sentilan “untuk makan saja susah, apalagi untuk yang lain”, karena kini menjadi “untuk hidup saja susah apalagi untuk makan?!”. Nah kok? Salah apa ya.? Ujung-ujungnya Mas Kusno pun bilang, “Pak, warung tegal saja, kok mesti kena pajak sih? Emang kurang ya duit dari usaha-usaha gede?”

Ada info menarik, klik aja .... Biar kita sama-sama seneng deh ...